Penanganan Cedera Kepala


Pendahuluan

Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 15–44 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas, disusul dengan jatuh (terutama pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma. Karena itu, sudah saatnya seluruh fasilitas kesehatan yang ada, khususnya puskesmas sebagai lini terdepan pelayanan kesehatan, dapat melakukan penanganan yang optimal bagi penderita cedera kepala. Seperti negara-negara berkembang lainnya, kita tidak dapat memungkiri bahwa masih terdapat banyak keterbatasan, di antaranya keterbatasan pengetahuan dan keterampilan petugas kesehatan, keterbatasan alat-alat medis, serta kurangnya dukungan sistem transportasi dan komunikasi. Hal ini memang merupakan tantangan bagi kita dalam menangani pasien dengan trauma, khususnya trauma kepala.

Setiap petugas kesehatan diharapkan mempunyai pengetahuan dan keterampilan praktis untuk melakukan penanganan pertama dan tindakan live saving sebelum melakukan rujukan ke rumah sakit. Diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan mortalitasnya. Penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya kemungkinan pemulihan fungsi.

Klasifikasi Cedera Kepala

Cedera kepala bisa diklasifikasikan dalam berbagai aspek, tetapi untuk kepentingan praktis di lapangan dapat digunakan klasifikasi berdasarkan beratnya cedera. Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan menggunakan Glasgow Coma Scale, yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada tiga aspek yang dinilai, yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi gerakan lengan serta tungkai (motor respons).

Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi:

  • Cedera kepala ringan, bila GCS 13 – 15
  • Cedera kepala sedang, bila GCS 9 – 12
  • Cedera kepala berat, bila GCS 3 – 8

Glasgow Coma Scale

  1. Reaksi membuka mata
    4 Buka mata spontan
    3 Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara
    2 Buka mata bila dirangsang nyeri
    1 Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
  2. Reaksi berbicara
    5 Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
    4 Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang
    3 Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tak berbentuk kalimat
    2 Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak terbentuk kata
    1 Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun
  3. III.Reaksi gerakan lengan/tungkai
    6 Mengikuti perintah
    5 Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan
    4 Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
    3 Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
    2 Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
    1 Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

Penderita yang sadar baik (composmentis) dengan reaksi membuka mata spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi baik, mempunyai nilai GCS total sebesar 15. Sedang pada keadaan koma yang dalam, dengan keseluruhan otot-otot ekstremitas flaksid dan tidak ada respons membuka mata sama sekali, nilai GCS-nya adalah 3.

Patofisiologi

Berdasarkan patofisiologinya, ada dua macam cedera otak, yaitu cedera otak primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa kita lakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sedang sakit bisa mengalami proses penyembuhan yang optimal. Sedangkan cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan (on going process) sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena metabolik.

Proses berkelanjutan tersebut sebenarnya merupakan proses alamiah. Tetapi, bila ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi dan tidak ada upaya untuk mencegah atau menghentikan proses tersebut maka cedera akan terus berkembang dan berakhir pada kematian jaringan yang cukup luas. Pada tingkat organ, ini akan berakhir dengan kematian/kegagalan organ. Cedera otak sekunder disebabkan oleh keadaan-keadaan yang merupakan beban metabolik tambahan pada jaringan otak yang sudah mengalami cedera (neuron-neuron yang belum mati tetapi mengalami cedera). Beban ekstra ini bisa karena penyebab sistemik maupun intrakranial. Berbeda dengan cedera otak primer, banyak yang bisa kita lakukan untuk mencegah dan mengurangi terjadinya cedera otak sekunder.

Penyebab cedera otak sekunder di antaranya :

  1. Penyebab sistemik: hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan hiponatremia.
  2. Penyebab intrakranial: tekanan intrakranial meningkat, hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi.

Mencegah, mendeteksi, dan melakukan penanganan dini terhadap kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder adalah hal yang penting dan utama dilaksanakan

Penanganan

Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan :

1. Memantau sedini mungkin dan mencegah cedera otak sekunder.

2. Memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit.

Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan aman. Pendekatan ‘tunggu dulu’ pada penderita cedera kepala sangat berbahaya, karena diagnosis dan penanganan yang cepat sangatlah penting. Cedera otak sering diperburuk oleh akibat cedera otak sekunder. Penderita cedera kepala dengan hipotensi mempunyai mortalitas dua kali lebih banyak daripada tanpa hipotensi. Adanya hipoksia dan hipotensi akan menyebabkan mortalitas mencapai 75 persen. Oleh karena itu, tindakan awal berupa stabilisasi kardiopulmoner harus dilaksanakan secepatnya1.

Faktor-faktor yang memperjelek prognosis :

(1) Terlambat penanganan awal/resusitasi;

(2) Pengangkutan/transport yang tidak adekuat;

(3) Dikirim ke RS yang tidak adekuat;

(4) Terlambat dilakukan tindakan bedah;

(5) Disertai cedera multipel yang lain.

Penanganan di Tempat Kejadian

Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang perawatan sebelum sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering adalah syok, hipoksemia, dan hiperkarbia. Dengan demikian, prinsip penanganan ABC (airway, breathing, dan circulation) dengan tidak melakukan manipulasi yang berlebihan dapat memberatkan cedera tubuh yang lain, seperti leher, tulang punggung, dada, dan pelvis.

Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam brain shock selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai dengan refleks yang sangat lemah, sangat pucat, napas lambat dan dangkal, nadi lemah, serta otot-otot flaksid bahkan kadang-kadang pupil midriasis. Keadaan ini sering disalahtafsirkan bahwa penderita sudah mati, tetapi dalam waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi vitalnya. Saat seperti ini sudah cukup menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga perlu segera bantuan pernapasan.

Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.

Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan edema otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.

Setelah ABC stabil, segera siapkan transport ke rumah sakit rujukan untuk mendapatkan penanganan selanjutnya.

Rujukan

Sesuai dengan keadaan masing-masing daerah yang sangat bervariasi, pemilihan alat transportasi tergantung adanya fasilitas, keamanan, keadaan geografis, dan cepatnya mencapai rumah sakit rujukan yang ditentukan. Prinsipnya adalah ‘To get 0a definitif care in shortest time’. Dengan demikian, bila memungkinkan sebaiknya semua penderita dengan trauma kepala dirujuk ke rumah sakit yang ada fasilitas CT Scan dan tindakan bedah saraf. Tetapi, melihat situasi dan kondisi di negara kita, di mana hanya di rumah sakit propinsi yang mempunyai fasilitas tersebut (khususnya di luar jawa), maka sistem rujukan seperti itu sulit dilaksanakan. Oleh karena itu, ada tiga hal yang harus dilakukan:

  1. Bila mudah dijangkau dan tanpa memperberat kondisi penderita, sebaiknya langsung dirujuk ke rumah sakit yang ada fasilitas bedah saraf (rumah sakit propinsi).
  2. Bila tidak memungkinkan, sebaiknya dirujuk ke rumah sakit terdekat yang ada fasilitas bedah.
  3. Bila status ABC belum stabil, bisa dirujuk ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan penanganan lebih baik.

Selama dalam perjalanan, bisa terjadi berbagai keadaan seperti syok, kejang, apnea, obstruksi napas, dan gelisah. Dengan demikian, saat dalam perjalanan, keadaan ABC pasien harus tetap dimonitor dan diawasi ketat. Dengan adanya risiko selama transportasi, maka perlu persiapan dan persyaratan dalam transportasi, yaitu disertai tenaga medis, minimal perawat yang mampu menangani ABC, serta alat dan obat gawat darurat (di antaranya ambubag, orofaring dan nasofaring tube, suction, oksigen, cairan infus RL atau NaCl 0,9%, infus set, spuit 5 cc, aquabidest 25 cc, diazepam ampul, dan khlorpromazine ampul). Selain itu, juga surat rujukan yang lengkap dan jelas.

Tetapi, sering pertimbangan sosial, geografis, dan biaya menyulitkan kita untuk merujuk penderita, sehingga perlu adanya pegangan bagi kita untuk menentukan keputusan yang terbaik bagi pasien. Ada beberapa kriteria pasien cedera kepala yang masih bisa dirawat di rumah tetapi dengan observasi ketat, yaitu :

  1. Orientasi waktu dan tempat masih baik
  2. Tidak ada gejala fokal neurologis.
  3. Tidak sakit kepala ataupun muntah-muntah.
  4. Tidak ada fraktur tulang kepala.
  5. Ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah.
  6. Tempat tinggal tidak jauh dari puskesmas/pustu.

Selain itu, perlu diberi penjelasan kepada keluarga untuk mengawasi secara aktif (menanyakan dan membangunkan penderita) setiap dua jam. Bila dijumpai nyeri kepala bertambah berat, muntah makin sering, kejang, kesadaran menurun, dan adanya kelumpuhan maka segera lapor ke puskesmas atau petugas medis terdekat.

Penutup

Penanganan awal cedera kepala sangat penting karena dapat mencegah terjadinya cedera otak sekunder sehingga dapat menekan morbiditas dan mortalitasnya. Dua hal penting dalam penanganan awal ini adalah penanganan segera di tempat kejadian dan proses transportasi saat merujuk ke fasilitas yang lebih tinggi. Tujuan dari penanganan cedera kepala bukan lagi sekadar menolong jiw,a tetapi menyembuhkan penderita dengan sequele yang seminimal mungkin. Petugas medis di puskesmas sebagai ujung tombak penyedia pelayanan kesehatan terdepan, memiliki tanggung jawab yang penting untuk melakukan penanganan awal seoptimal mungkin dan mempersiapkan rujukan penderita ke tingkat fasilitas yang lebih tinggi.

Daftar Pustaka

  1. American College of Surgeon. Advanced Trauma Life Support for Doctors. American College of Surgeon, 1997 : 195-227.
  2. Listiono LD, ed. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. (ed.III). Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998 : 147-176.
  3. Bajamal AH. Penatalaksanaan cidera otak karena trauma. In : Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. 1999.
  4. Darmadipura MS. Cedera otak primer dan cedera otak sekunder tinjauan mekanisme dan patofisiologis. In: Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. 2000.
  5. Bajamal AH. Perawatan cidera kepala pra dan intra rumah sakit. In : Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. 2000.
  6. Hafid A, Kasan U, Darmadipura HMS, Wirjowijoyo B. Strategi dasar penanganan cidera otak. Warta IKABI Cabang Surabaya. 1989 : 107-128.
  7. Wilberger JE. Emergency care and initial evaluation. In: Cooper PR, ed. Head Injury. Baltimore: Williams and Wilkins, 1993:27-41.
  8. Kisworo B. Penanganan patah tulang terbuka di puskesmas. Medika 1996;10: 802-804.
  9. McKhann II GM, Copass MK, Winn HR. Prehospital care of the head-injured patient. In: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. McGraw-Hill, 1996: 103-117.
  10. Andrews BT. Fluid and electrolite management in the head injured patient. In: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. McGraw-Hill, 1996: 331-344.